Senin, 20 Juni 2011

Cintai Dia Dalam Hening....

Duhai gadis..
Maukah ku beritahukan padamu bagaimana mencintai dengan indah?
Inginkah ku bisikkan bagaimana mencintai dengan syahdu..

Maka dengarlah..

Duhai gadis..
Saat ku jatuh cinta..
Tak akan ku berucap..
Tak akan ku berkata..
Namun ku hanya akan diam..
Saat ku mencintai, takkan pernah ku menyatakan..
Tak akan ku menggoreskan..
Yang ku lakukan hanyalah diam..

Aku tahu, cinta adalah fitrah..sebuah anugrah tak terperih..
Karena cinta adalah kehidupan. ..
Karena rasa itu adalah cahaya.
Aku tahu hidup tanpa cinta bagaikan hidup dalam gelap gulita..

Namun..

Saat rasa itu menyapa, maka hadapi dgn anggun.
Karena rasa itu ibarat belenggu pelangi dengan begitu banyak warna.
Cinta terkadang mbuatmu bahagia namun tak jarang mbuatmu menderita.
Cinta ada kalanya manis bagaikan gula...
Namun juga mampu memberi pahit yang sangat getir.
Cinta adalah perangkap rasa.. Sekali kau salah berlaku,
maka kau akan terkungkung dalam waktu yang lama dalam lingkaran derita.

Maka gadis..
Agar kau dapat keluar dari belenggu itu dan mampu melaluinya dgn anggun..
Maka mencintailah dalam hening... Dalam diam..
Tak perlu kau lari, tak perlu kau hindari. .
Namun juga jangan kau sikapi dgn berlebihan. ..
Jangan kau umbar rasamu...
Jangan kau tumpahkan segala sukamu..

Cobalah merenung sejenak dan fikirkan dgn tenang..
Kita percaya takdir bukan? Kita tahu dengan sangat jelas...
Dia, Allah telah mengatur segalanya dengan begitu rapinya?
Jadi, apa yang kau risaukan? Biarkan Allah yg mengaturnya..
Dan yakinlah di tangan-Nya semua akan terjadi sesuai rencana -Nya...

Wahai gadis.....
Dia yang kau cinta, belum tentu atau mungkin tak akan pernah menjadi milikmu..
Dia yang kau puja, yang kau ingat saat siang dan yang kau tangisi ketika malam...
Akankah dia yang telah Allah takdirkan denganmu?
Kita tak tahu dan tak akan pernah tahu..
Hingga saatnya tiba..

Maka, ku ingatkan padamu..
Tidakkah kau malu jika semua rasa telah kau umbar...
Namun ternyata kelak bukan kau yg dia pilih untuk mendampingi hidupnya?
Karena cinta kita begitu agung untuk di umbar..
Begitu mulia untuk di tampakkan..
Begitu sakral untuk di tumpahkan..

Dan sadarilah wahai gadis..

Fitrah kita wanita adalah pemalu..
Dan kau indah karena sifat malumu..
Lalu, masihkah kau tampak menawan jika rasa malu itu telah di nafikan?
Masihkah kau tampak bestari jika malu itu telah kau singkap..
Duhai gadis, jadikan malu sebagai selendangmu..
Maka tawan hatimu sendiri dalam sangkar keimanan..
Dalam jeruji kesetiaan..
Yah.. Kesetiaan padanya yg telah Allah tuliskan namamu dan namanya di Lauhul Mahfuz..
Jauh sebelum bumi dan langit dicipta..

Duhai gadis...
Maka cintailah dlm hening...
Agar jika memang bukan dia yg ditakdirkan untukmu..
Maka cukuplah Allah dan kau yg tahu segala rasamu..
Agar kesucianmu tetap terjaga..
Agar keanggunanmu tetap terbias..
Maka, ku beritahukan padamu..
Pegang kendali hatimu..Jangan kau lepaskan. ..
Acuhkan semua godaan yg menghampirimu..
Cinta bukan untuk kau hancurkan.. bukan untuk kau musnahkan..
Namun cinta hanya butuh kau kendalikan.. hanya cukup kau arahkan..

Duhai gadis...
Yang kau butuhkan hanya waktu, sabar dan percaya..
Maka, peganglah kendali hatimu..
Lalu..Arahkan pada- Nya..
Dan cintailah dalam diam.. Dalam hening.. Itu jauh lebih indah..
Jauh lebih suci..

~ KESALAHAN-KESALAHAN PADA SHOLAT JUM'AT ~

1. MENGULUR WAKTU DATANG KE MASJID SEHINGGA KHATIB NAIK MIMBAR

Di antara kaum muslimin ada yang berlambat-lambat ketika mendatangi shalat Jum’at sehingga khatib naik mimbar. Padahal dengan demikian itu mereka telah kehilangan banyak kebaikan serta pahala yang melimpah.

Di dalam ash-Shahiihain (Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim) disebutkan, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

- Barangsiapa mandi pada hari Jum’at seperti mandi junub kemudian dia berangkat ke masjid, maka seakan-akan dia berkurban dengan unta.
- Barangsiapa berangkat pada waktu kedua, maka seakan-akan dia berkurban dengan sapi.
- Barangsiapa berangkat pada waktu ketiga, maka seakan-akan dia berkurban dengan kambing yang bertanduk.
- Barangsiapa berangkat pada waktu keempat, maka seakan-akan dia berkurban dengan ayam.
- Dan barangsiapa berangkat pada waktu kelima, maka seakan-akan dia berkurban dengan telur.
Jika imam telah datang, maka Malaikat akan hadir untuk mendengarkan Khutbah.” [1]

Maksudnya, para Malaikat itu menutup lembaran catatan pahala bagi mereka yang terlambat sehingga tidak mendapatkan pahala yang lebih bagi orang-orang yang masuk masjid (di saat khatib sudah naik mimbar).

Pengertian tersebut diperkuat oleh hadits berikut ini:
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dinilai hasan oleh al-Albani. Dari Abu Ghalib, dari Abu Umamah, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Pada hari Jum’at para Malaikat duduk di pintu-pintu masjid yang bersama mereka lembaran-lembaran catatan. Mereka mencatat orang-orang (yang datang untuk shalat), di mana jika imam telah datang menuju ke mimbar, maka lembaran-lembaran catatan itu akan ditutup.”

Lalu kutanyakan, “Hai Abu Umamah, kalau begitu bukankah orang yang datang setelah naiknya khatib ke mimbar berarti tidak ada Jum’at baginya?”
Dia menjawab, “Benar, tetapi bukan bagi orang yang telah dicatat di dalam lembaran-lem-baran catatan.” [2]

2. TIDAK MANDI, TIDAK PULA MEMAKAI WANGI-WANGIAN, DAN TIDAK BERSIWAK PADA HARI JUM’AT

Di antara jama’ah ada juga yang mengabaikan masalah mandi dan memakai wangi-wangian pada hari Jum’at.
Padahal Islam menghendaki kaum muslimin supaya berkumpul pada hari Jum’at pada pertemuan mingguan dalam keadaan sesempurna mungkin, berpenampilan paling baik, serta memakai wangi-wangian yang paling wangi sehingga orang lain tidak terganggu oleh bau yang tidak sedap. Serta tidak juga mengganggu para Malaikat.

Di dalam kitab ash-Shahiihain disebutkan, dari Abu Bakar bin al-Munkadir, dia berkata, ‘Amr bin Sulaim al-Anshari pernah memberitahuku, dia berkata, Aku bersaksi atas Abu Sa’id yang mengatakan, Aku bersaksi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Mandi pada hari Jum’at itu wajib bagi setiap orang yang sudah baligh.
Dan hendaklah dia menyikat gigi serta memakai wewangian jika punya.” [3]

Di dalam kitab Shahiih al-Bukhari juga disebutkan, dari Salman al-Farisi, dia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Tidaklah seseorang mandi dan bersuci semampunya pada hari Jum’at, memakai mi-nyak rambut atau memakai minyak wangi di rumahnya kemudian keluar lalu dia tidak memisahkan antara dua orang (dalam shaff) kemudian mengerjakan shalat dan selanjutnya dia diam (tidak berbicara) jika khatib berkhutbah, melainkan akan diberikan ampunan kepadanya (atas kesalahan yang terjadi) antara Jum’atnya itu dengan Jum’at yang berikutnya.” [4]
__________

Foote Note
[1]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 881) dan Muslim (no. 850).
[2]. Hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (no. 21765) dan selainnya yang dinilai hasan oleh al-Albani di dalam kitab Shahiih at-Targhiib (no. 710).
[3]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 880) dan Muslim (no. 846).
[4]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 883).

3. TIDAK MAU MENEMPATI BARISAN (SHAFF) PERTAMA MESKI DATANG LEBIH AWAL

Di antara jama’ah ada yang datang ke masjid lebih awal dan mendapati barisan pertama masih kosong, tetapi dia malah memilih untuk menempati barisan kedua atau ketiga agar bisa bersandar ke tiang misalnya, atau memilih barisan belakang sehingga dia bisa bersandar ke dinding misalnya. Semuanya itu bertentangan dengan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk segera menduduki barisan pertama yang didapatinya selama dia bisa sampai ke tempat tersebut, karena agungnya pahala yang ada padanya serta banyaknya keutamaan yang terkandung padanya. Dan seandainya dia tidak bisa sampai ke tempat itu kecuali dengan cara undian, maka hendaklah dia melakukan hal tersebut sehingga dia tidak kehilangan pahala yang melimpah itu.

Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: :

“Seandainya orang-orang itu mengetahui apa yang terdapat pada seruan adzan dan shaff pertama kemudian mereka tidak mendapatkan jalan, kecuali harus melakukan undian, niscaya mereka akan melakukannya.” [1]

Dan dalam riwayat Muslim disebutkan:
“Seandainya kalian atau mereka mengetahui apa yang terdapat di shaff terdepan, niscaya akan dilakukan undian.” [2]

Dengarlah keutamaan yang melimpah bagi orang yang bersuci dan bersegera mendatanginya.

Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, yang dinilai hasan oleh at-Tirmidzi serta dinilai shahih oleh al-Albani di dalam kitab Shahiih as-Sunan, dari Aus bin Aus Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at dan membersihkan diri, lalu cepat -cepat dan bergegas, serta berjalan kaki dan tidak menaiki kendaraan, juga mendekati posisi imam, kemudian mendengarkan lagi tidak lengah, maka baginya setiap langkah amalan satu tahun, dengan pahala puasa dan qiyamul lail yang ada pada tahun itu.” [3]

Mengenai penafsiran kalimat, ghassala wa ightasala, para ulama memiliki dua pendapat:
1. Membasahi kepala dan mandi, sebagai upaya membersihkan diri secara maksimal. Dan ini merupakan pendapat Ibnul Mubarak.
2. Mencampuri isterinya sehingga dia harus membersihkan diri dan mandi. Dan inilah pendapat Waki’.

Mereka menyunnahkan seseorang mencampuri isterinya pada hari Jum’at karena dua alasan:
a. Agar nafsu syahwatnya tersalurkan pada tempat yang halal sehingga dia berangkat menunaikan shalat Jum’at dan bisa menundukkan pandangan, mengonsentrasikan pikiran untuk mendengarkan khutbah dan mengambil pelajaran dari nasihat yang disampaikan.
b. Mudah-mudahan dengan apa yang dilakukannya itu Allah akan memberikan berkah sehingga akan mengeluarkan dari tulang rusuknya anak-anak yang shalih, sehingga dengan demikian itu telah menanamkan benihnya pada hari yang penuh berkah, yaitu hari Jum’at.

Di antara yang memperkuat makna itu adalah: “Barangsiapa mandi seperti mandi janabat pada hari Jum’at dan kemudian pergi berangkat…”
Bakkara wa ibtakara, ada yang mengatakan, Hal tersebut sebagai ta’kiid (penekanan) dan ada juga yang mengatakan: bakkara berarti berangkat pagi-pagi ke masjid. Ibtakara berarti mendengar khuthbah dari sejak awal.

Danaa min al-Imaam berarti menempati barisan-barisan pertama yang dekat dengan imam .
Fastama’a walam yalghu berarti mendengarkan khutbah dan tidak lengah darinya oleh aktivitas lainnya.

4. MELANGKAHI PUNDAK JAMA’AH YANG DATANG LEBIH AWAL PADA HARI JUM’AT

Di antara kaum muslimin ada yang datang terlambat ke masjid, sehingga dia menyela jama’ah yang datang lebih awal dan duduk dengan melangkahi pundak mereka sehingga dia sampai ke barisan pertama. Dan ini jelas salah. Mestinya dia harus menempati tempat yang terakhir kali ia dapatkan.

Telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seseorang masuk masjid pada hari Jum’at sedang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah menyampaikan khutbah, lalu dia melangkahi orang-orang, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Duduklah, karena sesungguhnya engkau telah mengganggu (orang-orang) dan datang terlambat.” [4]

5. ORANG YANG MASUK KE MASJID BERDIRI DAN MENUNGGU SAMPAI ADZAN SELESAI DIKUMANDANGKAN, BARU KEMUDIAN MENGERJAKAN SHALAT TAHIYYATUL MASJID

Sebagian orang jika memasuki masjid sedang khathib sudah berada di atas mimbar dan muadzin masih mengumandangkan adzan maka dia akan tetap berdiri sambil menunggu adzan selesai. Dan ketika muadzin selesai mengumandangkan adzan dan khatib menyampaikan khutbah, baru dia mulai mengerjakan shalat Tahiyyatul Masjid. Ini merupakan tindakan yang salah. Mendengar adzan adalah sunnah, sementara mendengar khutbah adalah wajib, sehingga yang wajib harus diutamakan. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan mengabaikan yang wajib untuk menunaikan yang sunnah. Dengan demikian, yang benar adalah memulai shalat Tahiyyatul Masjid langsung ketika sampai di masjid meskipun muadzin tengah mengumandangkan adzan agar dia bisa mendengar khutbah secara lengkap.

6. BERBICARA SAAT KHUTBAH TENGAH BERLANGSUNG

Di antara jama’ah ada juga yang berbincang dengan orang secara perlahan di sekitarnya saat khutbah tengah berlangsung. Dan ini jelas salah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk diam guna mendengarkan khutbah Jum’ah dengan seksama.

Sebagaimana yang telah kami sampaikan sebelumnya, yaitu satu hadits yang diriwayatkan empat perawi dan dinilai shahih oleh al-Albani dari Aus bin Aus Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at dan membersihkan diri, lalu cepat-cepat dan bergegas, serta berjalan kaki dan tidak menaiki kendaraan, juga mendekati posisi imam, kemudian mendengarkan lagi tidak lengah, maka baginya setiap langkah amalan satu tahun, dengan pahala puasa dan qiyamul lail yang ada pada tahun itu.” [5]

Di dalam kitab ash-Shahiihain telah disebutkan dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika engkau mengatakan kepada temanmu, ‘Diam,’ pada hari Jum’at dan imam sedang berkhutbah, berarti engkau telah berbuat sia-sia.” [6]

Lalu apa hukuman bagi orang yang berbicara atau melangkahi pundak jama’ah?

Hukumannya adalah tidak ditetapkan baginya pahala shalat Jum’at dan dia juga tidak akan mendapatkan keutamaannya, dan shalat Jum’at itu hanya akan menjadi shalat Zhuhur baginya.

Yang demikian itu didasarkan pada apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah yang dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at, lalu memakai minyak wangi isterinya jika dia punya, dan mengenakan pakaian yang bagus, lalu tidak melangkahi pundak orang-orang, serta tidak lengah saat diberi nasihat (khutbah), maka hal itu menjadi penghapus dosa (kecil) antara
keduanya. Dan barangsiapa lengah dan melangkahi pundak orang-orang, maka shalat Jum’atnya itu menjadi shalat Zhuhur baginya. ” [7]
__________

Foote Note

[1]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 721) dan Muslim (no. 437).
[2]. Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 439).
[3]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 345), at-Tirmidzi (no. 496), an-Nasa-i (no. 1398), Ibnu Majah (no. 1087). Dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab Shahiih at-Tirmidzi (no. 496).
[4]. Shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1115) dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab Shahiih Ibni Majah.
[5]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 345), at-Tirmidzi (no. 496), an-Nasa'i (no. 1398), Ibnu Majah (no. 1087). Dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab Shahiih at-Tirmidzi (no. 496).
[6]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 934) dan Muslim (no. 851).
[7]. Hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah (no. 347). Dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab Shahiih at-Targhiib (no. 720).

7. JAMA’AH TIDUR SEMENTARA KHATIB TENGAH MENYAMPAIKAN KHUTBAHNYA

Sebagian orang tertidur sementara khatib sudah berada di atas mimbar. Dan ini jelas salah dan dia harus dibangunkan untuk mendengarkan nasihat.

Ibnu Sirin mengatakan, “Mereka memakruhkan tidur ketika khatib khutbah. Dan mereka berkata tegas mengenai hal tersebut.” [1]

Dan disunnahkan bagi orang yang dihinggapi rasa kantuk untuk pindah dari tempatnya ke tempat lain di masjid. Mengenai hal tersebut telah diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Hibban dengan sanad shahih dari ‘Abdullah bin ‘Umar, dia berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Jika salah seorang di antara kalian mengantuk di tempat duduknya pada hari Jum’at, maka hendaklah dia pindah (bergeser) dari tempat itu ke tempat lainnya.” [2]

8. BERSANDARNYA SEBAGIAN ORANG KE DINDING DAN TIDAK MENGHADAP KHATIB

Ada sebagian orang yang dalam mendengarkan khutbah Jum’at lebih senang bersandar ke dinding atau tiang dan tidak menghadap ke arah khatib, bahkan mereka membelakanginya. Dan ini jelas bertentangan dengan petunjuk para Sahabat Nabi di dalam khutbah Jum’at dan juga bertolak belakang dengan etika mendengar khutbah.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan, “Jika berkhutbah Jum’at, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, sementara Sahabat-Sahabat beliau menghadapkan wajah mereka ke arah beliau.” [3]

Dari Muthi’ al-Ghazal dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika sudah menaiki mimbar, maka kami pun menghadapkan wajah kami ke arah beliau.” [4]

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam sudah berdiri tegak di atas mimbar, maka kami langsung menghadapkan wajah kami ke arah beliau.” [5]

Dari Abban bin ‘Abdullah al-Bajali, dia berkata, Aku pernah melihat ‘Adi bin Tsabit menghadapkan wajahnya ke arah khatib jika khatib itu berdiri sambil berkhutbah. Lalu aku tanyakan kepadanya, “Aku lihat engkau menghadapkan wajahmu ke khatib?” Dia menjawab, “Karena aku pernah melihat para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal tersebut.” [6]

Dari Nafi’, mantan budak Ibnu ‘Umar bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar mengerjakan shalat sunnah pada hari Jum’at hingga selesai sebelum khatib keluar, dan ketika khatib telah datang sebelum khatib itu duduk, dia (‘Abdullah bin ‘Umar) menghadapkan wajah ke arahnya.Imam Ibnu Syihab az-Zuhri rahimahullahu mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menyampaikan khutbahnya, maka mereka langsung mengarahkan wajah mereka kepadanya sampai beliau selesai dari khutbahnya"

Imam Yahya bin Sa’id al-Anshari rahimahullahu mengatakan, “Yang sunnah untuk dilakukan adalah jika khatib sudah duduk di atas mimbar pada hari Jum’at, maka hendaklah semua orang mengarahkan wajah ke arahnya.” [7]

Al-Atsram mengatakan, aku pernah katakan kepada Abu ‘Abdullah [8],

“Ketika khatib berada agak jauh di sebelah kananku, maka apakah jika aku ingin menghadap kepadanya, aku harus mengalihkan wajahku dari arah kiblat?”
Dia menjawab, “Ya, arahkan wajahmu kepadanya.” [9]

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan bagi orang-orang untuk menghadap ke arah khatib jika dia tengah berkhutbah. Dan itu merupakan pendapat Malik, at-Tsauri, al-Auza’i, asy-Syafi’i, Ishaq, dan Ashabur rayi.” [10]

Ibnu Mundzir rahimahullahu mengatakan, “Hal itu bagaikan ijma’ (kesepakatan para ulama).” [11]

At-Tirmidzi rahimahullahu mengatakan, “Pengamalan terhadap hal tersebut dilakukan oleh para ulama dari kalangan Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga yang lainnya mereka menyunnahkan untuk menghadap ke khatib jika dia tengah berkhutbah.” [12]

9. MEMAINKAN BIJI TASBIH ATAU KUNCI SAAT KHUTBAH BERLANGSUNG

Sebagian orang ada yang melakukan hal yang sia-sia baik dengan kunci-kunci atau biji tasbih yang ada di tangannya saat mendengar khutbah Jum’at. Ini jelas bertentangan dengan ketenangan dan perhatian terhadap peringatan dan nasihat yang disampaikan kepadanya.

Bahkan hal tersebut masuk ke dalam kelengahan yang dilarang untuk dilakukan. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahiihnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

“Barangsiapa yang memegang batu kerikil berarti dia telah berbuat sia-sia.” [13]

Dan terkadang ada juga salah seorang dari mereka yang mengeluarkan kayu siwak dan bersiwak saat khutbah tengah berlangsung. Ini juga termasuk dalam kategori lengah (berbuat sia-sia).

10. MEMISAHKAN DUA ORANG YANG DUDUK BERDAMPINGAN PADA HARI JUM’AT

Terkadang ada orang yang datang terakhir ke masjid, lalu melangkahi pundak-pundak jama’ah yang datang lebih awal serta memisahkan duduk orang-orang agar dia bisa sampai di barisan pertama. Dan ini merupakan satu hal yang dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Menurut Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh al-Albani.
“Dari Jabir bin ‘Abdullah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seseorang masuk masjid pada hari Jum’at sedang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah menyampaikan khuthbah, lalu dia melangkahi orang-orang, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Duduklah, karena sesungguhnya engkau telah mengganggu (orang-orang) dan datang terlambat.” [14]

Kemudian orang yang memisahkan di antara dua orang ini, yakni dengan melangkahi keduanya atau duduk di antara keduanya benar-benar telah kehilangan pahala yang besar, yaitu yang disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, dari Salman al-Farisi Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at dan bersuci semampunya, memakai minyak rambut atau memakai minyak wangi rumahnya kemudian keluar lalu dia tidak memisahkan antara dua orang dan kemudian mengerjakan shalat sunnah dan selanjutnya dia diam (tidak berbicara) jika khatib berkhutbah, melainkan akan diberikan ampunan kepadanya (atas kesalahan yang terjadi) antara Jum’atnya itu dengan Jum’at yang berikutnya”. [15]

Al-Hafizh rahimahullahu mengatakan, “Setelah dilakukan penghimpunan terhadap jalan-jalan dan lafazh-lafazh hadits, maka tampak sekumpulan dari apa yang kami sampaikan tadi bahwa penghapusan dosa dari hari Jum’at ke Jum’at berikutnya itu dengan syarat adanya semua hal berikut ini:

a. Mandi dan membersihkan diri.
b. Memakai minyak wangi atau minyak rambut.
c. Memakai pakaian yang paling bagus.
d. Berjalan kaki dengan penuh ketenangan.
e. Tidak melangkahi pundak jama’ah yang datang lebih awal.
f. Tidak memisahkan antara dua orang yang berdampingan.
g. Tidak mengganggu.
h. Mengerjakan amalan-amalan sunnah.
i. Diam.
j. Tidak melakukan aktivitas yang melengahkan” [16]

Lebih lanjut, al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Di dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr disebutkan, ‘Oleh karena itu, barangsiapa melangkahi orang atau melakukan hal yang melengahkan, maka baginya shalat Jum’at itu hanya shalat Zhuhur semata" [17]
__________
Foote Note
[1]. Tafsiir al-Qurthubi (XVIII/117) dan al-Qaulul Mubiin (no. 346).
[2]. Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/135), Abu Dawud (no. 119), at-Tirmidzi (no. 526), Ibnu Hibban (no. 2792) Ihsaan.
[3]. Zaadul Ma’aad (I/430).
[4]. Hasan bisyawaahidi (dengan beberapa penguatnya): Diriwayat-kan oleh al-Bukhari dalam kitab at-Taariikh al-Kabiir (IV/II/ 47). Dinilai hasan oleh al-Albani dengan beberapa syahidnya dalam kitabnya, Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 2080).
[5]. Hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 509) dan dinilai shahih oleh al-Albani di dalam kitab Shahiih at-Tirmidzi.
[6]. Hasan: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi (III/198). Al-Albani mengatakan di dalam kitab Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (V/114), “Sanad ini jayyid.” Dan diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1136) dari Adi bin Tsabit dari ayahnya dan dinilai shahih oleh al-Albani.
[7]. Hasan: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi (III/199) dengan sanad hasan.
[8]. Yaitu Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
[9]. Al-Mughni (III/172).
[10]. Ibid (III/172).
[11]. Ibid (III/172).
[12]. Sunan at-Tirmidzi: kitab al-Jumu’ah, bab Maa Jaa’a fii Istiqbaalil Imaam idzaa Khathaba.
[13]. Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 857). Dan lihat kitab as-Subhah, Taariikhuhaa wa Hukmuhaa, Dr. Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid hafizhahullah. (Telah kami terbitkan dengan judul: Adakah Biji Tasbih pada Zaman Rasulullah j -pent.)
[14]. Shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1115) dan dinilai shahih oleh al-Albani di dalam kitab Shahiih Ibni Majah.
[15]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 883, 910).
[16]. Fat-hul Baari, syarah hadits no. 883.
[17]. Hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 347) dan dinilai hasan oleh al-Albani.

11. TIDAK MEMISAHKAN ANTARA SHALAT JUM’AT DAN SHALAT SUNNAHNYA DENGAN PINDAH TEMPAT ATAU PEMBICARAAN

Di antara kaum muslimin ada yang mengerjakan shalat Jum’at, kemudian berdiri dan langsung mengerjakan shalat sunnah Ba’diyah. Dan ini jelas salah. Yang benar adalah pindah ke tempat lain untuk kemudian mengerjakan shalat sunnah atau minimal berbicara meski hanya dengan sedikit dzikir atau tasbih atau yang semisalnya untuk menyempurnakan pemisahan antara shalat Jum’at dengan shalat sunnahnya.

Yang menjadi dalil bagi hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shahiihnya dari ‘Umar bin ‘Atha’ bin Abil Khuwar:

“Bahwa Nafi’ bin Jubair pernah mengutusnya menemui as-Saib, anak dari saudara perempuan Namr untuk menanyakan kepadanya tentang sesuatu yang dilihatnya dari Mu’awiyah dalam shalat, maka dia menjawab, ‘Ya, aku pernah mengerjakan shalat Jum’at bersamanya di dalam maqshurah [1].

Setelah imam mengucapkan salam, aku langsung berdiri di tempatku semula untuk kemudian mengerjakan shalat, sehingga ketika dia masuk, dia mengutus seseorang kepadaku seraya berkata, ‘Janganlah engkau mengulangi perbuatan itu lagi. Jika engkau telah mengerjakan shalat
Jum’at, maka janganlah engkau menyambungnya dengan suatu shalat sehingga engkau berbicara atau keluar (dari tempatmu), karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan hal tersebut kepada kita, yaitu tidak menyambung shalat sehingga kita berbicara atau keluar.’” [2]

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalamnya terdapat dalil atas apa yang dikemukakan oleh rekan-rekan kami [3] bahwa shalat-shalat nafilah rawatib dan juga yang lainnya disunnahkan untuk berpindah dari tempat pelaksanaan shalat fardhu ke tempat lain.

Tetapi perlu saya kemukakan, shalat nafilah (sunnah) di rumah lebih afdhal (utama) dengan beberapa dalil berikut:

a. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin ‘Abdullah Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika salah seorang di antara kalian selesai menunaikan shalat di masjid, maka hendaklah dia memberikan bagian untuk rumah tersebut di dalam shalatnya, karena sesungguhnya Allah memberikan kebaikan di dalam rumahnya dari shalatnya itu.” [4]

b. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Kerjakanlah sebagian dari shalat kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian menjadikannya laksana kuburan.” [5]

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Artinya, shalatlah di rumah kalian dan janganlah engkau menjadikan tempat tinggal kalian itu seperti kuburan yang tidak pernah ditempati untuk shalat. Dan yang dimaksudkan di sini adalah shalat sunnah. Dengan kata lain: kerjakanlah shalat
sunnah di rumah kalian.” [6]

c. Diriwayatkan oleh asy-Syaikhan (al-Bukhari dan Muslim) dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Hendaklah kalian mengerjakan shalat di rumah kalian, karena sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya, kecuali shalat wajib.” [7]

12. MENINGGALKAN SHALAWAT ATAS NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM PADA HARI JUM’AT

Sebagian orang ada yang lalai untuk bersha-lawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Jum’at, meskipun keutamaannya sangat besar, pahalanya pun begitu melimpah, khususnya pada hari Jum’at.

Telah diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim, yang dinilai shahih olehnya serta disetujui oleh adz-Dzahabi dan al-Albani.

Dari Aus bin Aus Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya sebaik-baik hari-hari kalian adalah hari Jum’at, karenanya perbanyak shalawat atas diriku pada hari tersebut, karena shalawat kalian akan diperlihatkan kepadaku.”

Lalu para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana shalawat kami akan diperlihatkan kepadamu sedang engkau telah hancur lebur?” Dia berkata, dia mengatakan, “Telah rusak berserakan.”

Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan tanah dari memakan jasad-jasad para Nabi.” [8]

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang hasan. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidaklah seseorang memberikan salam (shalawat) kepadaku melainkan Allah akan mengembalikan ruhku sehingga aku bisa menjawab salam (shalawat) padanya.” [9]

Dan shighah (bentuk) shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling baik adalah yang ditetapkan di dalam kitab ash-Shahiihain, sebagai berikut: Dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu ‘anhu, ditanyakan,
“Wahai Rasulullah, mengenai salam kepadamu, maka kami telah mengetahuinya, tetapi bagaimana kami harus bershalawat kepadamu?”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ucapkanlah, ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah bershalawat atas Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia.

Ya Allah, berikanlah berkah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah berikan berkah kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia.” [10]

13. TIDAK MENGERJAKAN SHALAT TAHIYYATUL MASJID KETIKA KHATIB TENGAH MENYAMPAIKAN KHUTBAH

Di antara kaum muslimin ada yang selalu me-ngerjakan shalat Tahiyyatul Masjid, karena dia mengetahui bahwa shalat tersebut adalah sunnah muakadah (yang ditekankan).

Yang demikian itu didasarkan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk sehingga mengerjakan shalat dua rakaat.” [11]

Tetapi, jika dia masuk masjid ketika khatib sedang menyampaikan khutbah maka dia langsung duduk dan tidak mengerjakan shalat Tahiyyatul Masjid. Dan jika ditanyakan kepadanya mengenai alasan tindakannya itu maka dia menjawab, karena aku pernah mendengar satu hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang di dalamnya beliau bersabda, “Jika seorang khatib telah menaiki mimbar, maka tidak ada shalat dan pembicaraan.”

Maka dapat kami katakan bahwa hadits ini dha’if jiddan (lemah sekali) yang tidak bisa dijadikan sebagai dalil pijakan. Telah diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam kitab al-Kabiir dan di dalam sanadnya terdapat Ayyub bin Nuhaik, dia munkarul hadits. Oleh karena itu, hadits ini dinilai dha’if oleh al-Haitsami di dalam kitab Maj-ma’uz Zawaa-id (II/184) dan juga al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitab Fat-hul Baari (II/409).

Sementara itu, al-Albani di dalam kitab, Sil-silah al-Ahaadiits adh-Dha’iifah (no. 87) mengatakan, “Hadits ini bathil.”

Bahkan telah ditegaskan perintah untuk mengerjakan shalat dua rakaat tersebut bagi orang yang datang ketika khatib sedang menyampaikan khutbahnya. Di dalam kitab ash-Shahiihain disebutkan: Dari Jabir bin ‘Abdullah, dia berkata, Ada seseorang datang ketika Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam tengah menyampaikan khutbah kepada jama’ah pada hari Jum’at, lalu beliau bertanya:

“Apakah kamu sudah mengerjakan shalat (Tahiyyatul Masjid), hai fulan?”

“Belum,” jawabnya. Maka beliau bersabda:

“Berdiri dan kerjakanlah shalat dua rakaat.” [12]

Dalam riwayat Muslim disebutkan dari Jabir bin ‘Abdullah, dia berkata, Sulaik al-Ghathafani pernah datang ke masjid pada hari Jum’at sedang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah memberi khutbah lalu dia langsung duduk, maka beliau berkata kepadanya, “Wahai Sulaik, berdiri dan kerjakanlah shalat dua rakaat dan perpendeklah dalam mengerjakan shalat tersebut.” Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika salah seorang di antara kalian datang (ke masjid) pada hari Jum’at sedang imam tengah berkhutbah, maka hendaklah dia mengerjakan shalat 2 rakaat dan perpendeklah shalat tersebut.” [13]
__________
Foote Note
[1]. Maqshurah adalah sebuah ruangan yang dibangun di dalam masjid.
[2]. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 883) dan Abu Dawud (no. 1129).
[3]. Para penganut madzhab Imam asy-Syafi’i.
[4]. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 778).
[5]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1187) dalam kitab al-Jumu’ah, bab at-Tathawwu’ fil Buyuut. Muslim (no. 777) di dalam kitab Shalaatil Musaafiriin, bab Istihbaab Shalaatin Naafilah fil Bait.
[6]. Syarh Muslim (no. 777).
[7]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6113) dan Muslim (no. 781).
[8]. Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1047), Ahmad (IV/8), dinilai shahih oleh Ibnu Hibban (no. 550), dan al-Hakim (I/278). Disepakati oleh adz-Dzahabi dan al-Albani dalam kitab Shaiihul Jaami’ (no. 2212) dan al-Arnauth dalam kitab Riyaadhush Shaalihiin (no. 529).
[9]. Hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2041). An-Nawawi mengatakan di dalam kitab Riyaadhush Shaalihiin: Sanadnya shahih dan dinilai hasan oleh al-Albani di dalam kitab Shahiihul Jaami’ (no. 5679).
[10]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 4797), Muslim (no. 406).
[11]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1167) dan Muslim (no. 714).
[12]. Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 930) dan Muslim (no. 875).
[13]. Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 875).

[Disalin dari kitab kitab al-Kali-maatun Naafi’ah fil Akhthaa' asy-Syaai’ah, Bab “75 Khatha-an fii Shalaatil Jumu’ah.” Edisi Indonesia 75 Kesalahan Seputar Hari dan Shalat Jum’at, Karya Wahid bin ‘Abdis Salam Baali. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

Oleh : Wahid bin ‘Abdis Salam Baali.

Bagaimana Meningkatkan Kualitas Shalat Kita...??

Shalat adalah kewajiban sekaligus kebutuhan setiap Muslim. Karena shalat merupakan waktu terdekat hubungan antara seorang hamba dan Penciptanya. Amalan yang paling pertama dihisab oleh Allah adalah shalat yang juga merupakan benteng dalam menangkal perbuatan keji dan mungkar. Lantas bagaimanakah dengan shalat kita..? Shalat itu tak hanya sekedar gugur satu kewajiban tapi shalat adalah salah satu ibadah yang membutuhkan kesabaran, keikhlasan dan disiplin waktu. Hanya satu cara paling ampuh untuk sampaii pada tingkat shalat yang berkualitas yaitu "khusyuk" . Tak ada satu parameterpun yang dapat mengatakan khusyuk atau tidaknya shalat yang kita lakukan, hanya Allahlah yang tau tingkat kekhusyuk'an dari shalat kita karena hanya dialah yang mampu membaca hati dan pikiran ketika kita sedang shalat.

Lalu pernahkah kita mengevaluasi sholat kita selama ini, adakah keinginan kita meningkatkan kualitas sholat kita..? ataukah kita biarkan menggelinding begitu saja, asal-asalan, asal sudah sholat dengan jumawa kita mengatakan sudah gugur satu kewajiban. Sampai detik inipun saya mengakui untuk mencapai tingkat khusyuk itu begitu sulit, hal ini disebabkan bayangan yang masuk dalam pikiran selalu saja mengganggu kosentrasi dalam shalat. Walaupun demikian kita harus terus berusaha agar dari hari ke hari kualitas shalat kita meningkat. Mengerjakan shalat memang harus dengan khusyuk dan sabar. "Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa" (QS Thaha : 132).

Allah SWT dan Rasul-Nya telah memberi kunci untuk dapat bersabar dalam shalat dengan mendirikan shalat tepat pada waktunya. "Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman". (QS An-Nisa : 103). Terkait dengan shalat yang didirikan dengan benar atau tidak, Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seseorang membaikkan shalatnya, menyempurnakan rukuk dan sujudnya, berkatalah sang shalat, "Semoga Allah memelihara engkau sebagaimana engkau memelihara aku", Maka diangkatlah shalatnya itu ke hadirat Allah".

"Dan apabila seseorang memburukkan shalatnya dan tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya, berkatalah sang shalat "Semoga Allah menyia-nyiakan engkau sebagaimana engkau menyia-nyiakan aku". Maka dibungkuslah shalatnya itu sebagaimana membungkus kain yang buruk. Lalu dipukulkanlah ke mukanya".

Sejatinya apa yang disampaikan Allah SWT dan Rasul-Nya tentang pentingnya shalat yang didirikan dengan sabar dan khusyuk, menjadi pemicu untuk meningkatkan kualitas shalat kita. Ada sedikit tips sederhana yang mungkin bisa membantu dalam meningkatkan kualitas shalat kita (maaf, saya tidak sedang menggurui tapi saya juga sedang berusaha terus dalam meningkatkan kualitas shalat). Mari kita niatkan untuk selalu memperbaiki dan meningkatkan kualitas shalat dengan sabar dan khusyuk....Adapun tips tersebut sebagai berikut :

Pengaturan nafas
Bacalah setiap bacaan dalam shalat diatur sedemikian rupa sehingga dalam satu ayat atau dalam satu kalimat dilakukan dengan satu tarikan nafas. Misal ketika kita membaca surah Al Fatihah, (tarik nafas).. Bismillahirrah maanirrahiim, (tarik nafas) Alhamdulillahirabbil 'alamiin, (tarik nafas).....demikian seterusnya. Hal ini bisa menghindarkan kita dari ketergesa2an dan meningkatkan konsentrasi kita.

Kualitas Bacaan
Bacaan shalat itu tidak hanya cukup dihafal tapi juga harus dimengerti arti dari bacaan shalat tersebut. Kita harus bisa meningkatkan kualitas bacaan shalat dengan jalan menghapal semua dzikir yang diajarkan oleh Rasulullah saw dalam satu rukun shalat. Sujud misalnya. Umumnya kita hanya menghapal satu bacaan saja. Padahal sebenarnya dengan mengganti bacaan sesuai dengan kondisi diri, shalat akan terasa lebih nikmat dan lezat, bukannya sekedar rutinitas 10 menit yang kering dan membosankan. Untuk itulah mari kita perbanyak hapalan dzikir yang diajarkan rasulullah.

Kualitas Makna
Berbeda dengan peningkatan kualitas bacaan shalat yang terbatas, peningkatan kualitas makna atau penghayatan terhadap makna bacaan shalat bagaikan samudera luas tak bertepi. Sampai menjelang ajalpun kita harus terus berusaha bersungguh-sungguh dalam meningkatkan pemahamannya terhadap ayat-ayat al-Qur`an dengan demikian bacaan shalat seseorang akan mendapatkan suasana baru dari apa yang ditadaburinya. Terkait dengan peningkatan kualitas bacaan inilah urgensitas penguasaan kita terhadap bahasa Arab mendapatkan posisi yang paling utama. Di usia kita kini tidak semestinya kita enggan mempelajari dan menguasai bahasa yang telah dipilih oleh Allah untuk menjadi sarana penyampai kabar, perintah, dan larangan_Nya. Apakah pantas kita yang mengaku mencintai dan menaati_Nya sementara kita tidak mau tahu dengan bahasa yang digunakan_Nya untuk menyampaikan pesan-pesan-Nya..??

Ingatlah perkataan ini “Perhatian seseorang yang berhati sehat bukan lagi pada memperbanyak kuantitas ibadah, akan tetapi yang menjadi perhatiannya adalah meningkatkan kualitas ibadahnya” (Ibnul Qayyim dalam Ighatsatullahfan min Mashaidisysyaythan)

Meskipun pencapaian tingkat khusyuk ini amatlah sulit namun pastilah semua orang punya cara tersendiri untuk mencapai tingkat tersebut. Saya pribadi sangat sulit memberikan arti shalat khusyuk karena banyak hal-hal yang diluar akal yang dapat kita rasakan sendiri ketika kita sedang shalat. banyak orang mengatakan "Yang penting niatnya dulu" Memang betul niat itu utama, tetapi niat tidaklah didampingi dengan ilmu maka akan sia-sialah semuanya dan yakinlah kita tidak akan menemukan kekuatan2 yang ada pada saat melakukan shalat.

Marilah kita tingkatkan kualitas shalat kita, buanglah pikiran2 duniawi ataupun pribadi, setelah itu biarkan kalimat-kalimat bacaan shalat mengalir dan berada dalam pikiran kita hingga akhirnya akan mampu menggeser masalah2 pikiran duniawi. Yang terpenting niat karena ALLAH semata dan pikiran tertuju hanya kepadanya, bayangkan seolah2 Allah sedang memperhatikan shalat yang kita lakukan, kosongkan pikiran tentang dunia lalu biarkan hubungan berlangsung dengan baik...

Usahakan shalat dengan mengenal Allah terlebih dahulu
Kemudian laksanakan apa yang dikehendaki Allah
Lakukanlah dengan perasaan senang dan cinta
Insya'Allah, hubungan itu akan terjadi

Ada sedikit cerita yang bisa menjadikan gambaran orang shalat
Suatu ketika Rosulullah menawarkan sayembara kepada Ali bin Abi Thalib dengan Hadiah SORBAN Beliau jika Ali bin Abi Thalib mampu sholat sunnah 2 rakaat dengan khusyu’ tanpa mengingat apapun kecuali bacaan dan do’a sholatnya. Ali bin Abi Tholibpun menerima tawaran itu dan langsung melaksanakannya, setelah selesai sholat, Rosulullah bertanya "Bagaimana ?" , "Ternyata tidak bisa ya Rosul, waktu sudah mendekati salam, saya ingat Sorban Rosul yang akan diberikan kepada saya “.

Suatu ketika Rosulullah memimpin sholat Jama’ah, lalu beliau mendengar ada tangisan bayi di belakangnya, maka Rosulullah mempercepat sholatnya. Demikian juga ketika beliau sholat sambil menggendong cucunya, anak kecil itu kadang digendong kadang juga diletakkan padahal beliau sedang sholat. Khusyu’ dalam sholat bukan berarti tidak mengingat apapunya kecuali bacaan sholat. Sudah berapa lama kita melaksanakan Sholat..? tapi apa yang selama ini kita rasakan atau apa yang bisa kita nikmati dalam sholat kita..? rasanya biasa-biasa saja, belum ada yang istimewa, kelihatannya masih hambar, kadang-kadang bisa sedikit khusyu’ bahkan sekali-sekali bisa menangis ketika berjama’ah itupun karena ikut menangis atau hanyut dengan keindahan suara sang Imam.

Ada beberapa poin yang terkait dengan khusyuk dan sabar
Sholat kita akan terasa khusyuk ketika kita sedang dalam posisi sulit, hingga kita merasa butuh pertolongan Allah. Mengapa demikian..? karena hidup selalu akrab dengan masalah, oleh karena itu bawalah masalah dalam sholat kita, semakin besar masalah kita semakin nikmatlah sholat kita, kita akan merintih, menangis, kulit dan badan kita mungkin akan gemetaran bahkan ingin menjerit rasanya. Angkatlah masalah sebesar-besarnya hadirkan kedalam shalat kita, buatlah mega proyek yang membuat kita akan tersungkur menagis dan menjerit dihadapan Allah yang Maha Perkasa. Mega proyek itu tak lain adalah "KEMATIAN", maka ketika itu kita akan merasakan bagaimana ‘ Tangan Allah ‘ membantu mengangkat beban masalah bersama kita, dan rasakanlah kebahagiaan dan kenikmatan yang luar biasa ketika beban atau masalah teratasi dan berharap dosa terampuni.

Kita akan bisa menikmati sholat dalam kondisi sabar, jika kita melakukannya dengan tidak tergesa-gesa dan menghargai sebuah proses yang sedang berjalan. Dalam hal ini kita perlu mengatur waktu sholat kita agar 'HUBUNGAN ‘ kita bersama Allah akan menjadi suatu kenikmatan dalam mencari solusi dan tidak diburu oleh suatu pekerjaan atau kepentingan lain. Disinilah Allah memberikan kebijakan dengan adanya Sholat Jama’ ( mengumpulkan 2 waktu sholat dalam satu waktu ) dan Sholat Qoshor ( meringkas Sholat yang 4 Rakaat menjadi 2 rakaat ), dari sinilah kita bisa mengatur waktu sholat kita, ketika kita ada sebuah urusan yang sangat urgen yang bertepatan dengan waktu sholat tiba atau waktu sholat akan berakhir.

~ Semoga Bermanfa'at ~

Senin, 30 Mei 2011

Poligami and Married Siri

Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk hidup bersama. Dalam bahasa agama Islam, ia dinamai ’aqd nikah. Perkawinan yang merupakan ikatan batin itu memiliki tali temali dari tiga rangkaian pengikat: Cinta (mawaddah), Rahmah (kondisi psikologis yang muncul di dalam hati untuk melakukan pemberdayaan), & Amanah (ketenteraman)(Oleh Dr Quraish shihab)
     Poligami menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan”. Kata tersebut dapat mencakup pologini yakni “sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria mengawini beberapa wanita dalam waktu yang sama”, maupun sebaliknya, yakni poliandri, di mana seorang wanita memiliki/mengawini sekian banyak lelaki.
    Poligami dalam kedua makna di atas dahulu kala dikenal oleh masyarakat umat manusia, tetapi kemudian agama dan budaya melarang poliandri dan masih membuka pintu untuk terlaksananya poligami.
      Poligami dahulu dilakukan oleh banyak lelaki terhormat, serta diterima tanpa menggerutu oleh perempuan-perempuan yang dimadu. Sementara orang berkata bahwa poligami lahir akibat penguasaan dan penindasan lelaki atas perempuan. Tetapi pendapat ini tidak sepenuhnya benar, karena sejarah umat manusia pun pernah mengenal dan membenarkan sistem poliandri. Will Durant sejarawan Amerika dalam bukunya The Lesson of History menunjuk antara lain Tibet, sebagai lokasi maraknya poliandri. Nah apakah ini berarti bahwa di sana terjadi dominasi kekuasaan perempuan atas lelaki? Ternyata tidak! Kondisi perempuan di Barat pada abad-abad pertengahan tidak lebih baik – kalau enggan berkata lebih buruk -- daripada kondisi perempuan di Timur, sebagaimana diakui oleh penulis-penulis Barat yang objektif. Namun demikian, mengapa poligami di Barat tidak semarak di Timur? Jadi, masalahnya bukan akibat penindasan lelaki atas perempuan, apalagi bukankah sekian banyak perempuan yang dijadikan isteri kedua atau ketiga, justru secara sadar dan suka rela bersedia untuk dimadu ? Seandainya mereka – dahulu atau kini – tidak bersedia, pasti jumlah lelaki yang berpoligami akan sangat sedikit.
      Agaknya poligami marak pada masa lalu karena “nurani” dan rasa keadilan lelaki maupun perempuan tidak terusik olehnya. Kini “rasa keadilan” berkembang sedemikian rupa akibat maraknya seruan HAM dan persamaan gender, sehingga mengantar kepada perubahan pandangan terhadap banyak hal, termasuk poligami. Apalagi, ketergantungan perempuam kepada lelaki tidak lagi serupa dengan masa lalu akibat pencerahan dan kemajuan yang diraih perempuan dalam berbagai bidang.

POLIGAMI & AGAMA-AGAMA
     Secara umum dapat dikatakan bahwa poligami pada dasarnya dibenarkan oleh agama-agama. Dalam Perjanjian Lama - misalnya disebutkan - bahwa Nabi Sulaiman memiliki tujuh ratus isteri bangsawan dan tiga ratus gundik (Perjanjian Lama, Raja-Raja I-11-4). Nabi Ibrahim juga berpoligami, paling tidak beliau memiliki dua orang isteri. Gereja-gereja di Eropa pun mengakui poligami hingga akhir abad XVII atau awal abad XVIII. Ini karena tidak ada teks yang jelas dalam Perjanjian Baru yang melarang poligami. Bahkan, kalau kita menyatakan bahwa dalam Perjanjian Lama poligami dibenarkan, terbukti antara lain dengan apa yang dikutip di atas, sedang Nabi Isa As. tidak datang untuk membatalkan Perjanjian Lama, sebagaimana pernyataan beliau sendiri (Baca Matius V-17), maka itu berarti beliau juga membenarkannya.
     Sekian banyak alasan logika yang dikemukakan oleh para pendukung poligami menyangkut bolehnya poligami. Mereka berkata “Perbandingan jumlah lelaki dan perempuan menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak, baik karena kelahiran dan ketangguhan wanita menghadapi penyakit, maupun karena dampak peperangan yang mengakibatkan banyaknya lelaki yang gugur”.
      Di sisi lain, kemandulan atau penyakit parah merupakan satu kemungkinan yang dapat terjadi bagi siapapun? Ketika itu, apakah jalan keluar yang diusulkan menghadapi kasus demikian? Bagaimana menyalurkan kebutuhan biologis seorang lelaki untuk memperoleh keturunan? Menahannya sehingga menimbulkan stess atau berhubungan gelap dengan perempuan lain, atau kawin secara sah (berpoligami) tetapi dengan syarat adil dan baik-baik? Tentu saja, alasan-alasan di atas dapat didiskusikan – sehingga bisa saja diterima atau ditolak – sesuai dengan pandangan dasar masing-masing atau agama dan budaya yang dianutnya.

ISLAM & POLIGAMI
Islam pada dasarnya membolehkan poligami berdasarkan firman-Nya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan (yatim), maka kawinilah apa yang kamu senangi dari wanita-wanita (lain): dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat. Lalu, jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak wanita yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. An-Nisâ’[4}: 3 ).
      Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi pada ayat di atas: Pertama, ayat ini tidak membuat peraturan baru tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syariat agama dan adat istiadat masyarakat. Ia tidak juga menganjurkan apalagi mewajibkanya. Ia, hanya berbicara tentang bolehnya poligami bagi orang-orang dengan kondisi tertentu. Itu pun diakhiri dengan anjuran untuk ber-monogami dengan firman-Nya: “Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Adalah wajar bagi satu perundangan, apalagi agama yang bersifat universal dan berlaku untuk setiap waktu dan tempat , untuk mempersiapkan ketetapan hukum bagi kasus yang bisa jadi terjadi satu ketika, walaupun baru merupakan kemungkinan.
      Seandainya ayat itu berupa anjuran, pastilah Tuhan menciptakan perempuan empat kali lipat dari jumlah lelaki, karena tidak ada arti Anda – apalagi Tuhan – menganjurkan sesuatu, kalau apa yang dianjurkan itu tidak tersedia. Ayat ini hanya memberi wadah bagi mereka yang memerlukannya ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu, seperti yang dikemukakan contohnya di atas. Tentu saja, masih bisa ada kondisi atau kasus selain yang disebut itu, yang juga merupakan alasan logis untuk mengunci mati pintu poligami yang dibenarkan dengan syarat yang tidak ringan itu. Bahkan, dapat dikatakan bahwa kondisi dan situasi apapun yang dibenarkan itu tidak mengandung makna anjuran berpoligami. Justru sebaliknya, tuntunan dan tujuan perkawinan dapat dinilai ajakan untuk tidak berpoligami, apapun kondisi dan situasi yang dihadapi oleh suami-isteri, sebagaimana akan disinggung nanti.
      Kedua, firman-Nya “jika kamu takut” mengandung makna jika kamu mengetahui. Ini berarti siapa yang yakin atau menduga, bahkan menduga keras, tidak akan berlaku adil terhadap isteri-isterinya, yang yatim maupun yang bukan, maka mereka itu tidak diperkenankan melakukan poligami. Yang diperkenankan hanyalah yang yakin atau menduga keras dapat berlaku adil. Yang ragu, apakah bisa berlaku adil atau tidak, sayogianya tidak diizinkan berpoligami.
      Kita tidak dapat membenarkan siapa yang berkata bahwa poligami adalah anjuran, dengan alasan bahwa Nabi Muhammad Saw. kawin lebih dari satu, karena tidak semua yang dilakukan Rasul perlu diteladani, sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib dan terlarang pula bagi umatnya. Memang tidak jarang bagi yang menyandang tugas tertentu, memperoleh kelebihan-kelebihan, baik kewajiban maupun hak. Itu adalah konsekuensi dari tugas yang diemban. Belum tentu, apa yang terlihat sebagai keistimewaan dalam hakikat dan kenyataannya demikian. Perkawinan Nabi Muhammad Saw. dengan sekian banyak isteri jelas bukan untuk tujuan pemenuhan kebutuhan seksual, karena isteri-isteri beliau itu pada umumnya adalah janda-janda yang sedang atau segera akan memasuki usia senja. Di sisi lain, perlu disadari bahwa Rasul Saw. baru berpoligami setelah isteri pertamanya wafat. Perkawinan beliau dalam bentuk monogami itu berjalan selama 25 tahun. Setelah tiga atau empat tahun sesudah wafatnya isteri pertama beliau (Kahdijah) barulah beliau berpoligami (menggauli ‘Aisyah Ra). Beliau ketika itu berusia sekitar 55 tahun, sedangkan beliau wafat dalam usia 63 tahun. Ini berarti beliau berpoligami hanya dalam waktu sekitar delapan tahun, jauh lebih pendek daripada hidup ber-monogami, baik dihitung berdasar masa kenabian lebih-lebih jika dihitung seluruh masa perkawinan beliau. Jika demikian, maka mengapa bukan masa yang lebih banyak itu yang diteladani? Mengapa juga tidak meneladaninya dalam memilih calon-calon isteri yang telah/hampir mencapai usia senja?
      Kendati penulis tidak sependapat dengan mereka yang ingin menutup mati pintu poligami, namun penulis menilai bahwa berpoligami bagaikan pintu darurat dalam pesawat udara, yang tidak dapat dibuka kecuali saat situasi sangat gawat dan setelah diizinkan oleh pilot. Yang membukanya pun haruslah mampu, karena itu tidak diperkenankan duduk di samping emergency door kecuali orang-orang tertentu.
     Sementara orang melarang poligami dengan alasan dampak buruk yang diakibatkannya. Longgarnya syarat, ditambah dengan rendahnya kesadaran dan pengetahuan tentang tujuan perkawinan, telah mengakibatkan mudhârat yang bukan saja menimpa isteri–isteri yang seringkali saling cemburu berlebihan, tetapi juga menimpa anak-anak, baik akibat perlakuan ibu tiri maupun perlakuan ayahnya sendiri, bila sangat cenderung kepada salah satu isterinya. Perlakuan buruk yang dirasakan oleh anak dapat mengakibatkan hubungan antar anak-anak pun memburuk, bahkan sampai kepada memburuknya hubungan antar keluarga. Dampak buruk inilah yang mengantar sementara orang melarang poligami secara mutlak.
      Tetapi, perlu diketahui bahwa poligami yang mengakibatkan dampak buruk yang dilukiskan di atas adalah yang dilakukan oleh mereka yang tidak mengikuti tuntunan hukum dan agama. Terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan hukum bukanlah alasan yang tepat untuk membatalkan ketentuan hukum itu, apalagi bila pembatalan tersebut mengakibatkan dampak buruk bagi masyarakat. Di sini perlu disadari bahwa dalam masyarakat yang melarang poligami atau menilainya buruk, baik di Timur lebih-lebih di Barat, telah mewabah hubungan seks tanpa nikah, muncul wanita-wanita simpanan, dan pernikahan-pernikahan di bawah tangan. Ini berdampak sangat buruk, lebih-lebih terhadap perempuan-perempuan.
      Di sini kalau kita membandingkan hal tersebut dengan poligami bersyarat, maka kita akan melihat betapa hal itu jauh lebih manusiawi dan bermoral dibanding dengan apa yang terjadi di tengah masyarakat yang melarang poligami.

TUJUAN & TALI TEMALI PERKAWINAN
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk hidup bersama. Dalam bahasa agama Islam, ia dinamai ’aqd nikah. Kata ’aqd berarti ikatan, sedang nikâh berarti penyatuan.
Perkawinan yang merupakan ikatan batin itu memiliki tali temali dari tiga rangkaian pengikat:
 Pertama, cinta atau mawaddah, menurut bahasa kitab suci al-Quran. Mawaddah adalah cinta yang disertai dengan kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Karena itu, yang bersemai mawaddah dalam hatinya tidak lagi akan memutuskan hubungan, ini disebabkan oleh karena hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan, sehingga pintu-pintu hatinya telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin (yang mungkin datang dari pasangannya).
 Kedua, Rahmah. Ia adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati karena menyaksikan ketidakberdayaan, sehingga mendorong yang bersangkutan untuk melakukan pemberdayaan. Rahmat menghasilkan kesabaran, murah hati. Rahmat diperlukan sebagai pengikat perkawinan. Karena, betapapun hebatnya seseorang, ia pasti memiliki kelemahan, dan betapa pun lemahnya seseorang, pasti ada juga unsur kekuatannya. Suami dan istri tidak luput dari keadaan demikian, sehingga suami dan istri harus berusaha untuk saling melengkapi. Di samping itu, bisa jadi potensi mawaddah yang terdapat dalam lubuk hati setiap suami atau isteri, belum terasah dengan baik. Sehingga, mawaddah belum mencapai tingkat yang dapat menjamin kelanggengan hubungan harmonis. Bisa jadi, juga ada unsur lain – katakanlah kelahiran anak - yang menjadikan mawaddah mengalami erosi . Nah, di sinilah faktor rahmat berperanan. Rahmat – walau tanpa cinta -- mempunyai peranan yang sangat besar dalam membendung kebutuhan pribadi dan berkorban. Seorang suami boleh jadi mendambakan anak, tetapi isterinya mandul. Atau, bisa jadi dorongan seksualnya tidak terpenuhi melalui seorang isteri, sehingga mendorongnya berpoligami. Tetapi, jika ia menyadari bahwa hal tersebut akan sangat menyakitkan isterinya, maka rahmat yang menghiasi dirinya terhadap isterinya membendung keinginan tersebut. Ketika itu, si suami akan ”berkorban“ demi mawaddah dan kasihnya. Demikian juga dapat terjadi pada isteri, ia akan merasakan kepedihan karena kebutuhan suami atau keinginannya yang tidak terpenuhi, sehingga rahmat yang terhunjam dalam jiwanya akan mengundangnya berkorban dan ”menutup mata“.
 Ketiga, Amanah. Amanah berasal dari akar kata yang sama dengan kata “aman”, yang bermakna “tenteram”. Juga, sama dengan kata “iman” yang berarti “percaya”. Ketiganya berbeda, tetapi dalam saat yang sama masing-masing memilikinya.
Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu akan dipelihara dengan baik, serta aman keberadaannya di tangan yang diberi amanat itu.
      Isteri adalah amanah di pelukan sang suami dan suami pun amanah di pelukan sang istri. Tidak mungkin orang tua dan keluarga masing-masing akan merestui perkawinan tanpa adanya rasa percaya dan aman itu. Suami, demikian juga isteri, tidak akan menjalin hubungan kecuali jika masing-masing merasa aman dan percaya kepada pasangannya. Perkawinan bukan hanya amanat dari mereka, tetapi juga amanat dari Tuhan Yang Mahakuasa.
      Ketiga hal tersebut yang melahirkan sakinah (ketenangan batin) yang merupakan tujuan perkawinan. Sekali lagi, di sini ditemukan penghalang bagi poligami, karena dengan berpoligami terjadi keresahan, khususnya bagi mereka yang peka terhdap rasa keadilannya.
      Pakar hukum Islam Mesir, Abu Zahrah, dalam bukunya Al-Ahwâl Asy-Syakhshiyyah menegaskan bahwa tidak terdapat dalam teks ayat al-Quran yang menghalangi pemerintah menetapkan syarat-syarat yang mengantar kepada keadilan, pergaulan baik, dan kewajiban infak dalam hal perkawinan. “Tidak ada teks keagamaan yang melarang untuk menempuh jalan itu“.
     Yang ingin penulis kemukakan dengan kutipan di atas, bahwa banyak jalan yang dapat ditempuh guna menghalangi ketidakadilan terhadap perempuan, termasuk dalam hal poligami, tanpa harus mengorbankan teks atau memberinya penafsiran yang sama sekali tidak sejalan dengan kandungannya.

KAWIN SIRRI
      Dalam ajaran Islam, pernikahan tidak boleh dilakukan secara diam-diam, tanpa saksi-saksi, bahkan seharusnya atau paling tidak dengan restu wali. Islam menganjurkan agar dilakukan pesta , walau sederhana, dan dirayakan dengan bunyi-bunyian (musik). Karena itu pula, siapa yang diundang ke walimah (pesta pernikahan), maka dia sangat dianjurkan untuk menghadirinya. Jika dia tidak berpuasa, maka hendaklah dia makan, tapi bila berpusa cukup menghadirinya saja. Ini bukan saja untuk menampakkan kegembiraan dengan terjalinnya pernikahan itu, tetapi juga sebagai kesaksian, sehingga dapat menampik sekian banyak isu negatif yang boleh jadi muncul atau penganiayaan yang dapat terjadi atas salah satu pasangan.
      Saksi pernikahan minimal dua orang. Memang terjadi perbedaan pendapat, apakah jika telah hadir dua orang saksi pernikahan, lalu mereka diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, apakah ini termasuk nikah sirri atau bukan? Imam Malik berpendapat bahwa itu termasuk perkawinan sirri, yakni terlarang. Pendapat ini sangat logis dan tepat karena sejalan dengan fungsi penyebarluasan berita perkawinan serta lebih mendukung penampikan isu-isu negatif terhadap pasangan lelaki dan perempuan.
       Dengan diumumkannya perkawinan, maka tidak juga akan hilang hak-hak masing-masing jika seandainya terjadi perceraian, baik perceraian mati maupun perceraian hidup. Hak anak yang dilahirkan pun akan menjadi jelas siapa orang tuanya. Dalam kompilasi Hukum Islam yang berlaku di Indonesia, diharuskan adanya pencatatan pernikahan demi terjaminnya ketertiban dan menghalangi terjadinya persengketaan tanpa penyelesaian. Hal ini berlaku hampir di seluruh negeri bermasyarakat Islam.
Demikian. Wa Allah ‘A’lam, semoga bermanfaat

Membangun Peradaban

"Belalang menjadi burung elang,


Kutu menjadi kura-kura,


dan Ulat berubah menjadi naga". 
Itulah syair pujangga Abdullah Abdul Qadir al-Munsyi, ditulis pertengahan abad 19. Sekilas ia seperti sedang bicara evolusi Darwin, atau cerita bim salabim ala Herry Porter. Tapi sejatinya ia sedang bicara tentang perubahan yang aneh. Perubahan tentang bangsanya yang kehilangan adab.


****fora ini mudah diterima oleh bangsa Melayu, tapi tidak bagi orang Jawa. Orang Jawa lebih mudah faham dengan dagelan “Petruk jadi ratu”. Ya dagelan, sebab ada perubahan status secara tidak alami atau tidak syar’ie. Bukan gambaran diskriminatif, bukan pula rasial, tapi loncatan status yang abnormal.


Munsyi tentu faham belalang mustahil jadi burung elang, kutu jadi kura-kura. Ia juga faham mengapa Tuhan mengizinkan kepompong bisa jadi kupu-kupu yang cantik. Tapi, yang ia gelisahkan mengapa ini bisa terjadi di dunia manusia. Semua orang berhak mencapai sukses, tapi mengapa sukses dicapai dengan mengorbankan moral. Kita menjadi lebih faham setelah membaca bait berikutnya:


“Bahkan seorang yang hina dan bodoh dapat pandai dan terhormat, jika memiliki harta. Sedangkan orang miskin tidak dipandang walaupun pandai dan terhormat”.


Munsyi seperti sedang memberi tugas kita untuk menjawab. Dimana letak kesalahannya. Yang dengan cerdas menjawab adalah SM Naquib al-Attas, ulama yang juga pakar sejarah Melayu. Letak kesalahannya, katanya, ada pada lembaga pendidikan kita. Pendidikan kita tidak menanamkan adab. Adab adalah ilmu yang berdimensi iman, ilmu yang mendorong amal dan yang bermuatan moral. Sumbernya ada dua: faktor eksternal dan internal. Yang pertama, karena besarnya pengaruh pemikiran sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan Barat. Yang kedua, karena lemahnya daya tahan tubuh umat Islam. Pendidikan kita tidak menanamkan adab. “Ritual” pendidikan memang terus berjalan, tapi maqasid-nya tidak tercapai. Lembaga pendidikan umat Islam bisa menghasilkan SDM bidang tehnik, ekonomi, kedokteran, manajemen, tapi tidak menghasilkan peradaban Islam.

Tanda-tanda alpanya adab sekurangnya ada 3: kezaliman, kebodohan dan kegilaan. Zalim kebalikan adil artinya tidak dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dalam adab kesopanan orang Jawa disebut tidak empan papan. Jelasnya tidak bisa memahami dan menerapkan konsep secara proporsional. Artinya mencampur dua atau tiga konsep yang saling bertentangan. Seperti mencapur keimanan dengan kemusyirikan. Mewarnai amal dengan kemaksiatan dan kesombongan. Tauhid dengan faham dikotomis-dualistis, dsb.

Bodoh atau dalam bahasa al-Ghazzali hamaqah bukan jahil dan buta aksara. Bodoh tentang cara mencapai tujuan. Karena tidak tahu apa tujuan hidupnya, seseorang jadi bodoh tentang cara mencapainya.”Anda harus bisa kaya dengan segala cara” adalah bisikan Machiaveli yang diterima dengan sukarela. Korupsi, menipu, manipulasi, dan sebagainya pun bisa menjadi cara meniti karir. Anda bisa jual diri asal bisa jadi selebriti. Anda bisa jadi pejabat asal mahir menjilat dan berkhianat. Itulah mengapa Islam datang menawarkan jalan dan cara mencapai tujuan yang disebut syariah.

Gila artinya salah tujuan, salah menentukan arah dan tujuan hidup, salah arah perjuangan. Akarnya tentunya adalah hamaqah atau kebodohan; yang bodoh akan negeri impian akan bingung kemana akan mendayung sampan; yang bodoh akan arti hidup tidak akan tahu apa tujuan hidup; yang jahil tentang arti ibadah tidak akan pernah tahu apa gunanya ibadah dalam kehidupan ini. Akibatnya, aktivitas demi kepentingan pribadi (linnafsi), kehormatan diri (lil jah), harta (lil mal) tiba-tiba diklaim menjadi Demi Allah, (Lillah).

Jika pendidikan kita benar-benar menanamkan adab, mengapa peradaban Islam tidak kokoh berdiri. Mengapa kita begitu gengsi pada hutang luar negeri, tapi bangga memungut konsep-konsep pinjaman dari luar Islam. Mengapa kita hanya mampu menjustifikasi konsep-konsep asing dan tidak mampu membangun konsep sendiri?

Orang Barat begitu percaya diri dengan konsep ciptaannya, tapi mengapa kita tidak. Cardinal John Newman, misalnya, begitu yakin tentang gambaran universitas humanisme Kristen dalam The Idea of University, Defined and Illustrated. Karl Jasper dalam The Idea of University tegas menggambarkan konsep universitas humanis-eksistensialis. J Douglas Brown dalam The Liberal University-nya bisa menggambarkan dengan jelas pelbagai peran universitas dalam mencetak “manusia sempurna” ala Barat. Tapi mengapa identitas Islam pada universitas Muslim tidak nampak jelas. Mengapa Muslim malu-malu memerankan universitas Islam dalam membangun peradaban Islam.

Universitas Islam harus berani membangun konsep ekonomi Islam, politik Islam, sosiologi Islam, sains Islam, budaya Islam dan sebagainya. Universitas Islam harus bisa mencerminkan bangunan pandangan hidup Islam. Universitas Islam tidak hanya menjadi pusat pengembangan ilmu, tapi juga merupakan sumber gerakan moral dan sosial serta agen perubahan. Universitas harus menjadi pelopor dalam menciptakan manusia-manusia yang adil dan beradab agar dapat membangun peradaban yang bermartabat.by. Hamid Fahmi Zarkasy
i

GUNUNG TANGKUBAN PERAHU




Gunung Tangkuban Perahu


Adalah salah satu gunung yang terletak di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Sekitar 20 km ke arah utara Kota Bandung, dengan rimbun pohon pinus dan hamparan kebun teh di sekitarnya, gunung Tangkuban Parahu mempunyai ketinggian setinggi 2.084 meter. Bentuk gunung ini adalah Stratovulcano dengan pusat erupsi yang berpindah dari timur ke barat. Jenis batuan yang dikeluarkan melalui letusan kebanyakan adalah lava dan sulfur, mineral yang dikeluarkan adalah sulfur belerang, mineral yang dikeluarkan saat gunung tidak aktif adalah uap belerang. Daerah Gunung Tangkuban Perahu dikelola oleh Perum Perhutanan. Suhu rata-rata hariannya adalah 17oC pada siang hari dan 2 oC pada malam hari.

Gunung Tangkuban Parahu mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung. Asal-usul Gunung Tangkuban Parahu dikaitkan dengan legenda Sangkuriang, yang dikisahkan jatuh cinta kepada ibunya, Dayang Sumbi. Untuk menggagalkan niat anaknya menikahinya, Dayang Sumbi mengajukan syarat supaya Sangkuriang membuat perahu dalam semalam. Ketika usahanya gagal, Sangkuriang marah dan menendang perahu itu, sehingga mendarat dalam keadaan terbalik. Perahu inilah yang kemudian membentuk Gunung Tangkuban Parahu.

Gunung Tangkuban Parahu ini termasuk gunung api aktif yang statusnya diawasi terus oleh Direktorat Vulkanologi Indonesia. Beberapa kawahnya masih menunjukkan tanda tanda keaktifan gunung ini. Diantara tanda gunung berapi ini adalah munculnya gas belerang dan sumber-sumber air panas di kaki gunung nya diantaranya adalah di kasawan Ciater, Subang.

Keberadaan gunung ini serta bentuk topografi Bandung yang berupa cekungan dengan bukit dan gunung di setiap sisinya menguatkan teori keberadaan sebuah telaga (kawah) besar yang kini merupakan kawasan Bandung. Diyakini oleh para ahli geologi bahwa kawasan dataran tinggi Bandung dengan ketinggian kurang lebih 709 m diatas permukaan laut merupakan sisa dari letusan gunung api purba yang dikenal sebagai Gunung Sunda dan Gunung Tangkuban Parahu merupakan sisa Gunung Sunda purba yang masih aktif. Fenomena seperti ini dapat dilihat pada Gunung Krakatau di Selat Sunda dan kawasan Ngorongoro di Tanzania, Afrika. Sehingga legenda Sangkuriang yang merupakan cerita masyarakat kawasan itu diyakini merupakan sebuah dokumentasi masyarakat kawasan Gunung sunda purba terhadap peristiwa pada saat itu.

Legenda candi prambanan



Di dekat kota Yogyakarta terdapat candi Hindu yang paling indah di Indonesia. Candi ini dibangun dalam abad kesembilan Masehi. Karena terletak di desa Prambanan, maka candi ini disebut candi Prambanan tetapi juga terkenal sebagai candi Lara Jonggrang, sebuah nama yang diambil dari legenda Lara Jonggrang dan Bandung Bondowoso. Beginilah ceritanya.

Konon tersebutlah seorang raja yang bernama Prabu Baka. Beliau bertahta di Prambanan. Raja ini seorang raksasa yang menakutkan dan besar kekuasaannya. Meskipun demikian, kalau sudah takdir, akhirnya dia kalah juga dengan Raja Pengging. Prabu Baka meninggal di medan perang. Kemenangan Raja Pengging itu disebabkan karena bantuan orang kuat yang bernama Bondowoso yang juga terkenal sebagai Bandung Bondowoso karena dia mempunyai senjata sakti yang bernama Bandung.

Dengan persetujuan Raja Pengging, Bandung Bondowoso menempati Istana Prambanan. Di sini dia terpesona oleh kecantikan Lara Jonggrang, putri bekas lawannya -- ya, bahkan putri raja yang dibunuhnya. Bagaimanapun juga, dia akan memperistrinya.

Lara Jonggrang takut menolak pinangan itu. Namun demikian, dia tidak akan menerimanya begitu saja. Dia mau kawin dengan Bandung Bondowoso asalkan syarat-syaratnya dipenuhi. Syaratnya ialah supaya dia dibuatkan seribu candi dan dua sumur yang dalam. Semuanya harus selesai dalam waktu semalam. Bandung Bondowoso menyanggupinya, meskipun agak keberatan. Dia minta bantuan ayahnya sendiri, orang sakti yang mempunyai balatentara roh-roh halus.

Pada hari yang ditentukan, Bandung Bondowoso beserta pengikutnya dan roh-roh halus mulai membangun candi yang besar jumlahnya itu. Sangatlah mengherankan cara dan kecepatan mereka bekerja. Sesudah jam empat pagi hanya tinggal lima buah candi yang harus disiapkan. Di samping itu sumurnya pun sudah hampir selesai.

Seluruh penghuni Istana Prambanan menjadi kebingungan karena mereka yakin bahwa semua syarat Lara Jonggrang akan terpenuhi. Apa yang harus diperbuat? Segera gadis-gadis dibangunkan dan disuruh menumbuk padi di lesung serta menaburkan bunga yang harum baunya. Mendengar bunyi lesung dan mencium bau bunga-bungaan yang harum, roh-roh halus menghentikan pekerjaan mereka karena mereka kira hari sudah siang. Pembuatan candi kurang sebuah, tetapi apa hendak dikata, roh halus berhenti mengerjakan tugasnya dan tanpa bantuan mereka tidak mungkin Bandung Bondowoso menyelesaikannya.

Keesokan harinya waktu Bandung Bondowoso mengetahui bahwa usahanya gagal, bukan main marahnya. Dia mengutuk para gadis di sekitar Prambanan -- tidak akan ada orang yang mau memperistri mereka sampai mereka menjadi perawan tua. Sedangkan Lara Jonggrang sendiri dikutuk menjadi arca. Arca tersebut terdapat dalam ruang candi yang besar yang sampai sekarang dinamai candi Lara Jonggrang. Candi-candi yang ada di dekatnya disebut Candi Sewu yang artinya seribu.

Senin, 23 Mei 2011

Hukum Wanita Keluar Malam

Muqaddimah

Agama Islam menitilkberatkan kehormatan dan kedudukan wanita dalam masyarakat. Perkara ini jelas kelihatan pada hukum yang digariskan dalam memartabatkan kaum hawa seperti etika pemakaian, bahagian harta pusaka dan lain-lain. Itulah ajaran suci yang diajarkan kepada umatnya setelah golongan wanita ditindas dan diabaikan sebelum kedatangan Islam.

Perbahasan Isu

Dewasa kini, kita mendengar banyak kejadian yang tidak diingini berlaku kepada kaum wanita seperti rogol, cabul, ragut dan sebagainya. Bukan sahaja berlaku di Malaysia malah ia juga membarah di negara-negara membangun lain. Tambahan pula, keselamatan kaum wanita ini sangat terjejas apabila mereka berada di waktu malam, kawasan merbahaya dan tidak selamat.

Para ulama' telah membincangkan perkara ini dengan mengambil sandaran ayat Al-Quran dan hadith Nabi S.A.W. Di dalam keduanya banyak menyebutkan tentang etika dan peraturan khusus yang ditujukan kepada kaum wanita. Perbincangan ini akan membawa perhatian kita kepada dua perkara :

• Hukum wanita keluar daripada rumah
• Perlunya mengikut saranan pemimpin dalam suatu kawasan

Pertama : Hukum Wanita Keluar Daripada RumahFirman Allah S.W.T. :


33. dan hendaklah kamu tetap diam di rumah kamu serta janganlah kamu mendedahkan diri seperti yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah zaman dahulu; dan dirikanlah sembahyang serta berilah zakat; dan taatlah kamu kepada Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah (perintahkan kamu Dengan semuanya itu) hanyalah kerana hendak menghapuskan perkara-perkara Yang mencemarkan diri kamu - Wahai "AhlulBait" dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya (dari Segala perkara Yang keji). (Surah Al-Ahzab ayat 33)

Dalam ayat di atas, Allah S.W.T memerintahkan kepada para isteri Rasulullah S.A.W. supaya sentiasa tetap berada di dalam rumah. Arahan yang ditujukan ini merupakan saranan umum yang bersifat wajib ke atas keseluruhan kaum muslimat sehingga hari kiamat seperti yang disebutkan oleh mufassirin seperti Imam Ibnu Kathir, Imam Al-Qurthubi dan lain-lain. Ini jelas kelihatan pada potongan ayat :


Ertinya : dan hendaklah kamu tetap diam di rumah kamu..

Imam Ibnu Kathir berkata dalam menafsirkan ayat ini : (Iaitu lazimilah rumah-rumah kamu dan janganlah keluar elainkan kerana adanya hajat. Antara hajat yang dibenarkan di sisi syara' ialah solat di masjid dengan beberapa syarat, seperti sabda Nabi S.A.W. :

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلَاتٌ

Maksudnya : Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'i telah menceritakan kepada kami Hammad dari Muhammad bin Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian menghalangi kaum wanita itu pergi ke masjid masjid Allah, akan tetapi hendaklah mereka itu pergi tanpa memakai wangi-wangian." (Hadith ke-478 Riwayat Imam Abu Daud)

; dan di dalam riwayat lain dengan tambahan lafaz : وبيوتهن خير لهن )

Jika diperhatikan dalam hadith di atas, antara syarat atau ikatan yang dikenakan kepada kaum wanita yang pergi ke masjid menunaikan solat ialah tidak memakai wangi-wangian, dan dalam sebahagian riwayat pula menyebutkan bahawa solat di rumah mereka adalah lebih baik daripada mengerjakannya di masjid. Sabda Nabi S.A.W. :
حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى أَنَّ عَمْرَو بْنَ عَاصِمٍ حَدَّثَهُمْ قَالَ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ مُوَرِّقٍ عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْمَرْأَةِ فِي بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا فِي حُجْرَتِهَا وَصَلَاتُهَا فِي مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا فِي بَيْتِهَا

Maksudnya : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Al-Mutsanna bahwasanya Amru bin 'Ashim telah menceritakan kepada mereka, dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Hammam dari Qatadah dari Muwarriq dari Abu Al-Ahwash dari Abdullah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Shalat seorang wanita di rumahnya lebih utama baginya daripada shalatnya di kamarnya, dan shalat seorang wanita di rumahnya yang kecil lebih utama baginya daripada dirumahnya." (Hadith ke-483 riwayat Imam Abu Daud)

Walaupun perihal hadith menceritakan keadaan wanita yang ingin bersolat di masjid namun bagaimana pula dengan keperluan lain yang mendesak untuk keluar daripada rumah dengan keperluan tersebut rendah keutamaanya berbanding solat. Hal ini kerana keluarnya seorang wanita itu daripada rumahnya merupakan salah satu peluang kepada syaitan untuk menghasut manusia. Sabda nabi S.A.W. :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَاصِمٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ مُوَرِّقٍ عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ

Maksudnya : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar, telah menceritakan kepada kami 'Amr bin 'Ashim telah menceritakan kepada kami Hammam dari Qatadah dari Muwarriq dari Abu Al Ahwash dari Abdullah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wanita itu adalah aurat. Jika dia keluar maka setan akan memperindahnya di mata laki-laki." Abu Isa berkata; "Ini merupakan hadits hasan gharib." (Hadith ke-1093 riwayat Imam At-Tirmidzi)
Jika seorang wanita itu memang berhajat untuk keluar kerana suatu keperluan, maka Islam menetapkan syarat supaya tidak memperhiaskan diri mereka dengan perkara yang akan menimbulkan fitnah seperti yang telah dilakukan oleh masyarakat jahiliyah terdahulu. Firman Allah S.W.T. :

Ertinya : janganlah kamu mendedahkan diri seperti yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah zaman dahulu…
Maksud perhiasan orang-orang jahiliyah ialah : mendedahkan aurat atau memakai perhiasana yang boleh menarik perhatian lelaki kepadanya walaupun dalam keadaan dia menutup aurat.

Kesimpulan : Berdasarkan kepada nas Al-Quran dan hadith di atas, para wanita muslimah tidak digalakkan untuk keluar daripada rumah mereka, sehinggakan Islam menetapkan peraturan kepada mereka yang ingin keluar walaupun menunaikan solat di masjid. Suruhan supaya sentiasa berada di rumah ini tidak menetapkan waktu samada siang atau malam, apatah lagi jika berada di tempat yang berbahaya walaupun pada waktu siang. Tetapi mereka dibolehkan untuk keluar daripada rumah dengan suatu keperluan (hajat) seperti ke tempat pengajian, ke masjid dan sebagainya dengan mengikut ketetapan Islam dan peraturan daripada pimpinan suatu tempat. Selain itu, mereka juga digalakkan agar tidak keluar bersendirian demi memastikan perkara yang tidak diingini berlaku.

Kedua : Perlunya Mengikut Saranan Pemimpin Dalam Suatu Kawasan

Firman Allah S.W.T. :

59. Wahai orang-orang Yang beriman, Taatlah kamu kepada Allah dan Taatlah kamu kepada Rasulullah dan kepada "Ulil-Amri" (orang-orang Yang berkuasa) dari kalangan kamu. kemudian jika kamu berbantah-bantah (berselisihan) Dalam sesuatu perkara, maka hendaklah kamu mengembalikannya kepada (Kitab) Allah (Al-Quran) dan (Sunnah) RasulNya - jika kamu benar beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian adalah lebih baik (bagi kamu), dan lebih elok pula kesudahannya. (Surah An-Nisaa' ayat 59).

Sabda Nabi S.A.W. :
و حَدَّثَنِي سَلَمَةُ بْنُ شَبِيبٍ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ أَعْيَنَ حَدَّثَنَا مَعْقِلٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَبِي أُنَيْسَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ حُصَيْنٍ عَنْ جَدَّتِهِ أُمِّ الْحُصَيْنِ قَالَ سَمِعْتُهَا تَقُولُ حَجَجْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَّةَ الْوَدَاعِ قَالَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلًا كَثِيرًا ثُمَّ سَمِعْتُهُ يَقُولُ إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ مُجَدَّعٌ حَسِبْتُهَا قَالَتْ أَسْوَدُ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا

Maksudnya : Dan telah menceritakan kepadakuu Salamah bin Syabib telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin A'yan yta Ma'qil dari Zaid bin Abi Unaisah dari Yahya bin Hushain dari neneknya Ummu Al Hushain dia (Yahya bin Hushain) berkata, "Saya mendengarnya (nenek) berkata, "Saya pernah melaksanakan haji Wada' bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." Ummu Hushain berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berwasiat dengan wasiat yang banyak sekali, kemudian saya mendengar beliau bersabda: "Seandainya kalian dipimpin oleh seorang hamba (budak) yang pesek -namun saya mengira dia (nenek) berkata; hitam- dengan kitabullah, maka dengarkan dan taatilah dia." (Hadith ke- 3422 riwayat Imam Muslim).

Sejak dahulu lagi, kita melihat bahawa kaum wanita merupakan sasaran kaum lelaki yang merupakan punca kepada berlakunya gejala sosial. Semua ini berlaku kerana mereka tidak mengamalkan apa yang telah diperintahkan oleh Allah S.W.T., rasulNya, dan para pemimpin di suatu kawasan yang menjadikan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai sumber hukum. Suruhan mentaati pemimpin ini jelas kelihatan pada ayat Al-Quran dan hadith di atas, maka perkara ini akan mejadi wajib kepada orang bawahan pimpinan ini.

Melihat kepada berlakunya situasi berleluasanya kaum wanita keluar daripada rumah kerana ingin menunaikan keperluan masing-masing, Islam telah menggariskan beberapa panduan kepada mereka agar sentiasa berada dalam keadaan selamat. Antaranya ialah :

1. Menutup aurat, firman Allah S.W.T. :

59. Wahai Nabi, suruhlah isteri-isterimu dan anak-anak perempuanmu serta perempuan-perempuan Yang beriman, supaya melabuhkan pakaiannya bagi menutup seluruh tubuhnya (semasa mereka keluar); cara Yang demikian lebih sesuai untuk mereka dikenal (sebagai perempuan Yang baik-baik) maka Dengan itu mereka tidak diganggu. dan (ingatlah) Allah adalah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. (Surah Al-Ahzaab ayat 59)

2. Tidak berhias-hias kerana ia boleh menarik perhatian dan mengundang dosa, sabda Nabi S.A.W. :
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ ابْنِ طَاوُسٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ لَمْ أَرَ شَيْئًا أَشْبَهَ بِاللَّمَمِ مِنْ قَوْلِ أَبِي هُرَيْرَةَ ح حَدَّثَنِي مَحْمُودٌ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ ابْنِ طَاوُسٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَشْبَهَ بِاللَّمَمِ مِمَّا قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنْ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ

Maksudnya : Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ibnu Thawus dari Ayahnya dari Ibnu Abbas radliallahu 'anhuma dia berkata; "Saya tidak berpendapat dengan sesuatu yang menyerupai makna lamam (dosa kecil) selain perkataan Abu Hurairah. Dan di riwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepadaku Mahmud telah mengabarkan kepada kami Abdurrazaq telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari Ibnu Thawus dari Ayahnya dari Ibnu Abbas dia berkata; "Saya tidak berpendapat tentang sesuatu yang paling dekat dengan makna Al lamam (dosa-dosa kecil) selain dari apa yang telah dikatakan oleh Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Sesungguhnya Allah telah menetapkan pada setiap anak cucu Adam bagiannya dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari, maka zinanya mata adalah melihat sedangkan zinanya lisan adalah ucapan, zinanya nafsu keinginan dan berangan-angan, dan kemaluanlah sebagai pembenar semuanya atau tidak." (Hadith ke-5774 riwayat Imam Bukhari).

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ حَدَّثَنِي بُكَيْرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَشَجِّ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَتْ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلَا تَمَسَّ طِيبًا

Maksudnya : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id al-Qaththan dari Muhammad bin 'Ajlan telah menceritakan kepadaku Bukair bin Abdullah bin al-Asyajj dari Busr bin Sa'id dari Zainab, istri Abdullah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada kami, 'Apabila salah seorang dari kalian kaum wanita hendak menghadiri shalat di masjid maka janganlah kalian memakai wangi-wangian'." (Hadith ke-674 riwayat Imam Muslim)

Jika memakai wangian ketika hendak keluar ke masijid pun tidak dibenarkan, apatah lagi keluar kerana keperluan selain solat.

3. Menjaga pandangan, firman Allah S.W.T. :

31. dan Katakanlah kepada perempuan-perempuan Yang beriman supaya menyekat pandangan mereka (daripada memandang Yang haram), dan memelihara kehormatan mereka; dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka kecuali Yang zahir daripadanya; dan hendaklah mereka menutup belahan leher bajunya dengan tudung kepala mereka… (Surah An-Nisaa' ayat 31)

Selain itu, peranan ini juga perlu diletakkan di bawah tanggungjawab pemimpin dalam suatu kawasan. Berdasarkan kepada keaadaan pelajar wanita yang berada di Mesir dan tempat-tempat lain, mereka tidak dibenarkan keluar sesuka hati pada waktu malam kecuali dalam keadaan mendesak seperti sakit, kelas tutorial, kecemasan dan sebagainya. Namun begitu, perlu diingat bahawa kebenaran tersebut adalah mengikut ketetapan pemimpin kawasan berkenaan :

1. Mestilah ditemani oleh musyrif / mahram / suami (orang yang bertanggungjawab menjamin keselamatan mahasiswi pergi dan pulang dari tempat yang dituju) di bawah makluman pemimpin.
2. Musyrif / mahram / suami hendaklah memastikan keselamatan wanita terbabit dalam keadaan terjamin.
3. Memastikan agar tidak timbul fitnah ketika keluar bersama bukan mahramnya.
4. Mengikut ketetapan hisbah dan keselamatan yang telah digariskan pimpinan.

Kesimpulan : Islam menggariskan ketetapan dalam menjaga kehormatan wanita dengan berpandukan Al-Quran, As-Sunnah dan arahan pimpinan yang bukan pada perkara maksiat. Maka, segala peraturan yang telah ditetapkan berdasarkan sumber di atas perlulah diikuti dan diambil perhatian. Hal ini kerana kesemua peraturan dan etika yang telah disusun ini akan mendatangkan kebaikan kepada umat Islam.

MENGINGAT MATI

Rasulullah SAW tengah memasuki tempat yang biasa beliau gunakan untuk sholat. Beliau melihat sekelompok orang yang sedang berbincang-bincang dan tertawa terbahak-bahak . Sabda beliau , “ Lebih baik kalian mengingat hal yang dapat memutuskan kenikmatan dunia.Perbanyaklah mengingat mati.Ingatlah ada enam kalimat yang diucapkan kuburan siang dan malam , yaitu :
1. Aku adalah rumah pengembara
2. Aku adalah rumah orang yang sendirian
3. Aku adalah rumah yang menyedihkan
4. Aku adalah rumah yang gelap
5. Aku adalah rumah yang terbuat dari tanan.
6. Aku adalah rumah bagi ular dan ulat. “
Apabila ada seorang hamba mukmin dimakamkan, kuburan berkata kepada penghuninya, “ Selamat dating bukanlah kamu dicintai oleh orang-orang yang berjalan di atas punggungku ? Ketika aku telah menguasimu pada hari ini dan menyerahnya dirimu kepadaku , kamu akan melihat perbuatanku kepadamu.” Bagi si mukmin , kuburan tersebut akan menjadi luas sejauh mata memandang , dan pintu surga akan dibuka untuknya.
Apabila yang dikubur adalah orang kafir, kuburan itu akan berkata kepadanya , “ Tidak kuucapkan selamat datang .Bukankah kamu orang yang paling benci oleh orang-orang yang berjalan diatas punggungku, ketika aku telah menguasimu pada hari ini dan menyerhnya dirimu kepadaku .” Kuburan itu pun menghimpitnya sehingga tulang rusuknya bercerai-berai .
Ujaran Rasulullah SAW tersebut diriwayatkan oleh Abu Said Al Hudry RA. Perawi hadist menuturkan, Nabi Muhammad SAW berkata sambil memberikan isyarat dengan jari-jari yang saling dimasukkan dan beliau berkata, “ Allah akan menggabungkan tujuh puluh ekor ular dan andaikata seekor ular menghembuskan nafasnya ke bumi , maka bumi tersebut tidask akan menumbuhkan tanaman untuk selama –lamanya. Ualar itu menggigitnya dan mengoyaknya cerai-berai sampai hari kiamat.sesungguhnya kubur itu sebuah taman dari pertamanan surga atau sebuah lobang dari lobang-lobang neraka. “
Ada dua kisah yang relevan dengan maksud ujaran tentang mengingat mati yaitu : Pertama , kisah yang berisi Nasihat Usman tentang Alam Kubur.Kedua, kisah Hasan Basri dengan anak Perempuan.
NASIHAT USMAN TENTANG ALAM KUBUR
Cerita ini berasal dari Abu Bakar Ismail yang bersandarkan pada Usman bin Affan RA, apabila dijelaskan tentang neraka kepadanya, maka Usman tidak menagis , dan apabila dijelaskan tentang hari Kiamat , Usman pun tidak menangis .Akan tetapi jika dijelaskan tentang kubur , Usman langsung menangis. Lalu dia ditanya,” Mengapa bisa demikian, wahai Usman?”
Jawabnya,”Bila aku didalam neraka maupun dihari kiamat, aku bersama manusia sedangkan bila aku di alam kubur , aku sendirian.”
Sesungguhnya kunci-kunci alam kubur itu ada ditangan malaikat Israfil AS dan dia pula yang kan membuka pintu-pintunya pada hari kiamat. Malaikat Israfil berkata,”Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai penjara baginya, kelak kuburnya akan menjadi surga untuknya. Barangsiapa menjadikan dunia sebagai surganya, kelak kuburnya akan menjadi penjara baginya.Barangsiapa terbelenggu di dunia , kematian akan melepaskannya. Dan barang siapa tidak menerima hak-haknya di dunia, dia akan memperollehnya di akhirat.
Sebaik-baik manusia adalah orang yang meninggalkan kenikmatan dunia sebelum orang itu meninggal, dan ridho kepada Tuhannya sebelum dia bertemu Tuhannya dan meramaikan kuburnya dengan amal salih sebelum memasukinya.”
KISAH HASAN AL – BASRI DAN ANAK PEREMPUAN
Hasan Al-Basri RA suatu kertika sedang duduk di depan rumahnya dan lewatlah iring-iringan jenazah di depan beliau. Dibawah keranda jenazah tersebut , ada seorang bocah perempuan dengan rambut tidak tersisir .Bocah tersebut menangis. Hasan RA kemudian berdiri dan mengikuti iring-iringan jenazah itu. Bocah itu berkata,”Wahai ayah , tidak bertemu lagi suatu hari seperti hari ini sepanjang usiaku.”
Hasan RA meralat perkataan bocah itu dengan berkata.”Ayahmu tidak akan bertemu lagi pada hri lain seperti pada hari ini.”
Usai melaksanakan Salat Jenazah , Hasan RA pulang. Esoknya Hasan duduk di depan rumahnya dan lewatlah bocah kecil itu sambil menangis hendak berziarah ke makam ayahnya . Hasan RA berkata,”Sesungguhnya bocah ini adalah orang yang di beri hikmah, maka saya akan mengikutinya.”
Ketika bocah itu sampai ke makam ayahnya, Hasan RA segera bersembunyi di bawah pohon berduri.Bocah itu memeluk makam ayahnya sehingga pipinya sampai menyentuh tanah. Bocah itu berkata,” Wahai ayah, bagaimana engkau bermalam di dalam kubur yang gelap dan sendirian tanpa lampu dan teman? Wahai ayah, pada malam kemarin aku memberikan lampu untukmu, lalu siapa membrikan lampu untukmu tadi malam ?
“Wahai ayah , pada malam kemarin aku yang memberikan tikar untukmu , lalu siapa yang memberikan tikar untukmu tadi malm? Wahai ayah, pada malam kemarin aku yang memijit tangan dan kakimum,lalu siapa yang memijitmu tadi malam ? Wahai ayah , pada malam kemarin aku yang memberimu minum , lalu siapakah yang memberimu minum tadi malam ? Wahai ayah pada malam kemarin aku yang menyelimuti tubuhmu , lantas siapakah yang menyelimuti tadi malam ? Wahai yah pada kemarin malam aku yang mengambilkan makanan jika engkau lapar padamu , lalu siapa yang mengambilkan makanan untukmu tadi malam ?”
Hasan RA menagis dan mendekati bocah itu sambil berkata,”Jangan engkau mengatakan demikian tetapi katakanlah,”Wahai ayah,kukafani engkau dengan sebaik-baik kain pembungkus ,apakah engkau tetap memakai atau telah lepas darimu?”
“Wahai ayah,aku letakkan engkau di dalam kubur dalam keadaan utuh , apakah tubuhmu masih utuh atau sudah dimakan ulat? Wahai ayah,setiap orang akan ditanya didalam kuburnya , apakah engkau bisa menjawabnya atau tidak ?”
“Wahai ayah ,kubur bisa menjadi luas atau sempit , apakah kuburmu menjdi luas atau sempit ? Wahai ayah , kain kafan dialam kubur diganti Allah dengan kafan surga atau kafan neraka?”
“Wahai ayah, kuburan akan memeluk atau menghimpit penghuninya, lalu apakah engkau dipeluk atau dihimpit kubur? Wahai ayah, dikubur tiap orang akan menyesal karena kejelekan amalnya atau sedikitnya kebaikan amalnya, apakah engkau menyesali kejelekan amalmu atau kurangnya kebaikan amalmu?”
“Wahai ayah, engkau benar-benar telah tiada, engkau tidak akan dapat bertemu lagi denganku sampai hari kianmat. Ya Allah ,janganlah Engkau menghalang-halangi keinginanku untuk bertemu dengan ayahku pada hari kiamat.”
Setelah kejadian itu, pulanglah Hasan RA besewrta bocah kecil tersebut ke rumah mereka.
Rachmanto MMTC 2009
Oase Spiritual M.Syaiful Bakhri & M.Irham Zuhdi